KISAH NABI ISMAIL AS
"Ibrahim bukan
seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang
yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia
termasuk golongan orang-orang musyrik. " (QS. Ali 'Imran: 67)
menuju Allah SWT. Ibunya membawanya dan menidurkannya di atas tanah, yaitu
tempat yang sekarang kita kenal dengan nama sumur zamzam dalam Ka'bah. Saat itu
tempat yang dihuninya sangat tandus dan belum terdapat sumur yang memancar dari
bawah kakinya. Tidak ada di sana setetes air pun. Nabi Ibrahim meninggalkan
istrinya, Hajar, bersama anaknya yang kecil. "Wahai Ibrahim kemana engkau
hendak pergi dan membiarkan kami di lembah yang kering ini?" Kata Hajar.
"Wahai Ibrahim di mana engkau akan pergi dan membiarkan kami? Wahai
Ibrahim ke mana engkau akan pergi?" Si ibu mengulang-ulang apa yang
dikatakannya. Sedangkan Nabi Ibrahim diam dan tidak menjawab. Kita tidak
mengetahui secara pasti bagaimana perasaan Nabi Ibrahim saat meninggalkan
mereka berdua di suatu lembah yang tidak ada di alamnya tumbuh-tumbuhan dan
minuman. Namun Allah SWT telah memerintahkannya untuk tinggal di lembah itu.
Dengan lapang dada Nabi Ibrahim melaksanakan perintah Allah SWT.
Dalam kisah-kisah israiliyat (kisah-kisah palsu yang dibuat oleh Bani
Israil) disebutkan bahwa istri pertamanya, Sarah, tampak cemburu pada Hajar,
istri keduanya, sehingga karenanya Nabi Ibrahim harus menjauhkannya beserta
anaknya. Kami percaya bahwa kisah ini palsu dan penuh dengan kebohongan. Jika
kita mengamati kepribadian Nabi Ibrahim, maka kita mengetahui bahwa beliau
tidak akan mendapat perintah dari seorang pun selain Allah SWT.
Kami tidak meyakini bahwa beliau terperangkap dalam perasaan kecemburuan
feminisme dan kami juga tidak percaya bahwa beliau sengaja membangkitkan
perasaan ini. Kami tidak mengira bahwa pribadi Sarah yang mulia akan terpedaya
dengan sikap egoisme. Bukankah ia sendiri yang menikahkan Nabi Ibrahim dengan
Hajar, pembantunya agar ia mendapatkan keturunan? Ia menyadari bahwa dirinya
wanita tua dan mandul. Ia sendiri yang menikahkannya dan membantu
pelaksanaannya. Ia telah memberikan dan mengabdikan dirinya kepada seorang
lelaki yang hatinya tiada dipenuhi dengan cinta kepada siapa pun kecuali cinta
kepada Penciptanya.
Allah SWT berfirman tentang Sarah dan Hajar:
"Rahmat Allah dan keberkatan-Nya dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait!
Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah. (QS. Hud: 73)
Jadi, masalahnya adalah bukan masalah kecemburuan antara sesama wanita,
namun ia adalah tugas yang diperintahkan oleh Allah SWT yang di dalamnya
tersembunyi hikmah-Nya. Barangkali Sarah lebih heran daripada Hajar ketika Nabi
Ibrahim memerintahkannya untuk membawa anaknya Ismail dan mengikutinya.
"Ke mana engkau hai Ibrahim pergi?" Mungkin pertama-tama Hajar yang
bertanya kepadanya dan mungkin juga Sarah yang bertanya. Nabi Ibrahim hanya terdiam
dan akhirnya kedua wanita itu pun juga terdiam.
Di sana terdapat hikmah yang tersembunyi di mana Nabi Ibrahim tidak
mengetahuinya dan Allah SWT tidak menjelaskan kepadanya. la tidak mengetahui
hai itu sebagaimana mereka berdua juga tidak mengetahuinya. Jadi kedua-duanya
hanya terdiam sebagai bentuk akhlak dari istri-istri nabi. Inilah Hajar yang
sendirian bersama anaknya di lembah yang terasing dan tandus, di mana ia tidak
mengetahui rahasia di balik tempat itu. Inilah Ismail yang memulai
perjalanannya menuju Allah SWT saat masih menyusui. Ia mengalami ujian saat
masih kecil dan juga ujian bagi ayahnya, di mana ia mendapatkan seorang anak
saat sudah tua. Nabi Ibrahim menyadari bahwa manusia tidak memiliki sesuatu pun
dalam dirinya. Dan seseorang yang cinta kepada Allah SWT akan memberikan
dirinya kepada Allah SWT dan akan memberikan apa yang disukai oleh dirinya
kepada Allah SWT tanpa harus diminta. Itu adalah hukum cinta yang dalam. Kami
tidak percaya bahwa Nabi Ibrahim mengetahui mengapa ia harus meninggalkan Ismail
dan ibunya di tempat itu. Kami tidak mengira bahwa Allah SWT telah
memberitahunya. Allah SWT hanya menurunkan perintah dan Ibrahim hanya
menaatinya. Di sinilah tampak kerasnya ujian dan kesulitannya. Di sinilah cinta
yang paling dalam diungkapkan, dan di sinilah cinta yang murni dituangkan.
Allah SWT menguji kekasih-Nya Ibrahim dengan suatu ujian yang sangat keras,
di mana umumnya para orang tua berat sekali melakukannya. Bukan berarti bahwa
cinta Allah SWT kepada Ibrahim dan cinta Ibrahim kepada-Nya menjadikan Ibrahim
tidak memiliki perasaan kemanusiaan. Kekuatan cintanya pada Allah SWT justru
menjadikan sebagai lautan dari perasaan kemanusiaan, bahkan lautan yang tidak
bertepi. Perasaan beliau terhadap Ismail lebih besar, lebih lembut, dan lebih
sayang dari perasaan ayah mana pun terhadap anaknya. Meskipun demikian, beliau
rela meninggalkannya di tempat yang tandus karena Allah SWT memerintahkan hal
tersebut. Terjadilah pergulatan dalam dirinya namun ia mampu melewati ujiannya
dan beliau memilih cinta Allah SWT daripada cinta anaknya.
Ketika Nabi Ibrahim menampakkan kecintaan yang luar biasa dari yang
seharusnya kepada anaknya, maka Allah SWT memerintahkannya untuk
menyembelihnya. Allah SWT agar hanya Dia yang menjadi pusat cinta para
nabi-Nya. Barangsiapa yang mencintai Allah SWT, maka ia pun harus mencintai
kebenaran dan orang yang mencintai kebenaran adalah orang memenuhi hatinya
dengan cinta kepada Penciptanya semata. Ismail mewarisi kesabaran ayahnya. Nabi
Ibrahim berdoa kepada Allah SWT sebelumnya:
"Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk
orang-orang yang saleh" (QS. ash-Shaffat: 100)
Allah SWT menjawab:
"Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat
sabar." (QS. ash-Shaffat: 101)
Kesabaran yang sama yang terdapat pada ayahnya, kebaikan yang sama,
ketakwaan yang sama, dan adab kenabian yang sama pula. Ismail mendapatkan ujian
yang pertama saat beliau kecil dan ujian itu berakhir saat Allah SWT
memancarkan zamzam dari kedua kakinya sehingga darinya ibunya minum dan
menyusuinya. Kemudian Ismail mendapatkan ujian yang kedua dalam hidupnya saat
ia menginjak masa muda:
"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku sesungguhnya aku melihat
dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!' Ia
menjawab: 'Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu: Insya
Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.'" (QS.
ash-Shaffat: 102)
Apa yang Anda kira terhadap jawaban si anak? Ia tidak bertanya tentang
sifat dari mimpi itu, dan ia tidak berdebat dengan ayahnya tentang kebenaran
mimpi itu, tetapi yang dikatakannya: "Wahai ayahku laksanakanlah apa yang
diperintahkan. "Janganlah engkau gelisah karena aku dan janganlah engkau
menampakkan kesedihan dan keluh-kesah. "Engkau akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar." Demikianlah jawaban seorang anak yang saleh terha
dap ayahnya yang saleh. Itulah puncak dari kesabaran dari seorang anak dan
tentu orang tuanya lebih harus bersabar. Itu bagaikan perlombaan di antara
keduanya untuk menguji siapa di antara mereka yang paling sabar. Perlombaan
yang tujuannya adalah meraih cinta Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut)
di dalam Al-Qur'an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia
adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh keluarganya untuk bersembahyang
dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi
Tuhannya." (QS. Maryam: 54-55)
Baitullah
Ismail hidup di semenanjung Arab sesuai dengan kehendak Al lah SWT. Ismail
memelihara kuda dan terhibur dengannya serta memanfaatkannya untuk
keperluannya. Sedangkan air zamzam sangat membantu orang-orang yang tinggal di
daerah itu. Kemudian sebagian kafilah menetap di situ dan sebagian kabilah
tinggal di tempat itu. Nabi Ismail tumbuh menjadi dewasa dan menikah. Lalu
ayahnya, Nabi Ibrahim, mengunjunginya dan tidak menemukannya dalam rumah namun
ia hanya mendapati istrinya. Nabi Ibrahim bertanya kepadanya tentang kehidupan
mereka dan keadaan mereka. Istrinya mengadukan padanya tentang kesempitan hidup
dan kesulitannya. Nabi Ibrahim berkata padanya: "Jika datang suamimu, maka
perintahkan padanya untuk mengubah gerbang pintunya."
Ketika Nabi Ismail datang, dan istrinya menceritakan padanya perihal
kedatangan seorang lelaki, Ismail berkata: "Itu adalah ayahku dan ia
memerintahkan aku untuk meninggalkanmu, maka kembalilah engkau pada
keluargamu." Kemudian Nabi Ismail menikahi wanita yang kedua. Nabi Ibrahim
mengunjungi istri keduanya dan bertanya kepadanya tentang keadaannya. Lalu ia
menceritakan pada nya bahwa mereka dalam keadaan baik-baik dan dikaruniai
nikmat. Nabi Ibrahim puas terhadap istri ini dan memang ia cocok dengan anaknya.
Barangkali Nabi Ibrahim menggunakan kemampuan spiritualnya dan cahaya yang
mampu menyingkap kegaiban yang dimilikinya. Nabi Ibrahim menyiapkan Ismail
untuk mengemban tugas yang besar. Yaitu tugas yang membutuhkan kerja keras
kemanusiaan seluruhnya dan waktunya seluruhnya serta kenyamanannya seluruhnya.
Ismail menjadi besar dan mencapai kekuatannya. Nabi Ibrahim mendatanginya.
Tibalah saat yang tepat untuk menjelaskan hikmah Allah SWT yang telah terjadi
dari perkara-perkara yang samar. Nabi Ibrahim berkata kepada Ismail:
"Wahai Ismail, sesungguhnya Allah SWT memerintahkan padaku suatu
perintah" ketika datang perintah pada Nabi Ibrahim untuk menyembelihnya,
beliau menjelaskan kepadanya persoalan itu dengan gamblang. Dan sekarang ia
hendak mengemukakan perintah lain yang sama agar ia mendapatkan keyakinan bahwa
Ismail akan membantunya. Kita di hadapan perintah yang lebih penting daripada
penyembelihan. Perintah yang tidak berkenaan dengan pribadi nabi tetapi
berkenaan dengan makhluk.
Ismail berkata: "Laksanakanlah apa yang diperintahkan Tuhanmu
padamu." Nabi Ibrahim berkata: "Apakah engkau akan membantuku?"
Ismail menjawab: "Ya, aku akan membantumu." Nabi Ibrahim berkata:
"Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan aku untuk membangun rumah di
sini." Nabi Ibrahim mengisyaratkan dengan tangannya dan menunjuk suatu
bukit yang tinggi di sana.
Selesailah pekerjaan itu. Perintah itu telah dilaksanakan dengan berdirinya
Baitullah yang suci. Itu adalah rumah yang pertama kali dibangun untuk menusia
di bumi. Ia adalah rumah pertama yang di dalamnya manusia menyembah Tuhannya.
Dan karena Nabi Adam adalah manusia yang pertama turun ke bumi, maka keutamaan
pembangunannya kembali padanya. Para ulama berkata: "Sesungguhnya Nabi
Adam membangunnya dan ia melakukan thawaf di sekelilingnya seperti para
malaikat yang tawaf di sekitar arsy Allah SWT.
Nabi Adam membangun suatu kemah yang di dalamnya ia menyembah Allah SWT.
Adalah hal yang biasa bagi Nabi Adam— sebagai seorang Nabi—untuk membangun
sebuah rumah untuk menyembah Allah SWT. Tempat itu dipenuhi dengan rahmat.
Kemudian Nabi Adam meninggal dan berlalulah abad demi abad sehingga rumah itu
hilang dan tersembunyi tempatnya. Maka Nabi Ibrahim mendapatkan perintah dari
Allah SWT untuk membangun kedua kalinya agar rumah itu tetap berdiri sampai
hari kiamat dengan izin Allah SWT. Nabi Ibrahim mulai membangun Ka'bah. Ka'bah
adalah sekumpulan batu yang tidak membahayakan dan tidak memberikan manfaat. Ia
tidak lebih dari sekadar batu. Meskipun demikian, ia merupakan simbol tauhid
Islam dan tempat penyucian kepada Allah SWT. Nabi Adam memiliki tauhid yang
tinggi dan Islam yang mutlak. Nabi Ibrahim pun termasuk seorang Muslim yang
tulus dan ia bukan termasuk seorang musyrik.
Batu-batu rumah itu telah dibangun dari ketenteraman hati Nabi Adam dan
kedamaian Nabi Ibrahim serta cintanya dan kesabaran Nabi Ismail serta
ketulusannya. Oleh karena itu, ketika Anda memasuki Masjidil Haram Anda akan
merasakan suatu gelombang kedamaian yang sangat dalam. Terkadang pada kali yang
pertama engkau melihat dirimu dan tidak melihat rumah dan pemeliharanya. Dan
barangkali engkau melihat rumah pada kali yang kedua namun engkau tidak melihat
dirimu dan Tuhanmu. Ketika engkau pergi ke haji engkau tidak akan melihat
dirimu dan rumah itu yang engkau lihat hanya pemelihara rumah itu. Ini adalah
haji yang hakiki. Inilah hikmah yang pertama dari pembangunan Ka'bah.
Allah SWT berfirman:
"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar
baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): 'Ya Tuhan kami terimalah dari kami
(amalan kami), sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk dan patuh kepada Engkau
dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau
dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan
terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkau lah Yang Maha Penerima taubat lagi
Maha Penyayang. Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan
mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan
kepada mereka al-Kitab (al-Qur'an) dan al-Hikmah (as-Sunnah) serta menyucikan
mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. "
(QS. al-Baqarah: 127-129)
Ka'bah terdiri dari batu-batuan yang ada di bumi di mana ia dijadikan
pondasi oleh Nabi Ibrahim dan Ismail. Sejarah menceritakan bahwa ia pernah
dihancurkan lebih dari sekali sehingga ia pun beberapa kali dibangun kembali.
Ia tetap berdiri sejak masa Nabi Ibrahim sampai hari ini. Dan ketika Rasulullah
saw diutus —sebagai bukti pengkabulan doa Nabi Ibrahim—beliau mendapad Ka'bah
dibangun terakhir kalinya, dan tenaga yang dicurahkan oleh orang-orang yang
membangunnya sangat terbatas di mana mereka tidak menggali dasarnya sebagaimana
Nabi Ibrahim menggalinya. Dari sini kita memahami bahwa Nabi Ibrahim dan Nabi
Ismail mencurahkan tenaga keras yang tidak dapat ditandingi oleh ribuan
laki-laki. Rasullah saw telah menegaskan bahwa kalau bukan karena kedekatan
kaum dengan masa jahiliyah dan kekhawatiran orang-orang akan menuduhnya dengan
berbagai tuduhan jika beliau menghancurkannya dan membangunkannya kembali,
niscaya beliau ingin merobohkannya dan mengembalikannya ke pondasi Nabi
Ibrahim.
Sungguh kedua nabi yang mulia itu telah mencurahkan tenaga keras dalam
membangunnya. Mereka berdua menggali pondasi karena dalamnya tanah yang di
bumi. Mereka memecahkan batu-batuan dari gunung yang cukup jauh dan dekat, lalu
setelah itu memindahkannya dan meratakannya serta membangunnya. Tentu hal itu
memerlukan tenaga keras dari beberapa pria tetapi mereka berdua membangunnya
bersama-sama. Kita tidak mengetahui berapa banyak waktu yang digunakan untuk
membangun Ka'bah sebagaimana kita tidak mengetahui waktu yang digunakan untuk
membuat perahu Nabi Nuh. Yang penting adalah, bahwa perahu Nabi Nuh dan Ka'bah
sama-sama sebagai tempat perlindungan manusia dan tempat yang membawa keamanan
dan kedamaian. Ka'bah adalah perahu Nabi Nuh yang tetap di atas bumi
selama-lamanya. Ia selalu menunggu orang-orang yang menginginkan keselamatan
dari kedahsyatan angin topan yang selalu mengancam setiap saat.
Allah SWT tidak menceritakan kepada kita tentang waktu pembangunan Ka'bah.
Allah SWT hanya menceritakan perkara yang lebih penting dan lebih bermanfaat.
Dia menceritakan tentang kesucian jiwa orang-orang yang membangunnya dan doa
mereka saat membangunnya:
"Tuhan kami, terimalah dari hand (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. " (QS. al-Baqarah: 127)
Itulah puncak keikhlasan orang-orang yang ikhlas, ketaatan orang-orang yang
taat, ketakutan orang-orang yang takut, dan kecintaan orang-orang yang
mencintai:
"Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada
Engkau dan (jadikanlah) di antara cucu kami umat yang tunduk patuh kepada
Engkau." (QS. al-Baqarah: 128)
Sesungguhnya kaum Muslim yang paling agung di muka bumi saat itu, mereka
berdoa kepada Allah SWT agar menjadikan mereka termasuk orang-orang yang
berserah diri pada-Nya. Mereka mengetahui bahwa hati manusia terletak sangat dekat
dengan ar-Rahman (Allah SWT). Mereka tidak akan mampu menghindari tipu daya
Allah SWT. Olah karena itu, mereka menampakkan kemurnian ibadah hanya kepada
Allah SWT, dan mereka membangun rumah Allah SWT serta meminta pada-Nya agar
menerima pekerjaan mereka.
Selanjutnya, mereka meminta Islam (penyerahan diri) pada-Nya dan rahmat
yang turun pada mereka di mana mereka memohon kepada Allah SWT agar memberi
mereka keturunan dari umat Islam. Mereka ingin agar jumlah orang-orang yang
beribadah dan orang-orang yang sujud dan rukuk semakin banyak. Sesungguhnya doa
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail menyingkap isi had seorang mukmin. Mereka
membangun rumah Allah SWT dan pada saat yang sama mereka disibukkan dengan
urusan akidah (keyakinan). Itu mengisyaratkan bahwa rumah itu sebagai simbol
dari akidah.
"Dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji
kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang. " (QS. al-Baqarah: 128)
Perlihatkanlah kepada kami cara ibadah yang Engkau sukai. Perlihatkanlah
kepada kami bagaimana kami menyembah-Mu di bumi. Dan terimalah taubat kami.
Sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang. Setelah itu,
kepedulian mereka melampaui masa yang mereka hidup di dalamnya. Mereka berdoa
kepada Allah SWT:
"Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan
mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan
kepada mereka al-Kitab (al-Qur'an) dan al-Hikmah (as-Sunnah) serta menyucikan
mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. "
(QS. al-Baqarah: 129)
Akhirnya, doa tersebut terkabul ketika Allah SWT mengutus Muhammad bin
Abdillah saw. Doa tersebut terwujud setelah melalui masa demi masa. Selesailah
pembangunan Ka'bah dan Nabi Ibrahim menginginkan batu yang istimewa yang akan
menjadi tanda khusus di mana tawaf di sekitar Ka'bah akan dimulai darinya.
Ismail telah mencurahkan tenaga di atas kemampuan manusia biasa. Beliau bekerja
dengan sangat antusias sebagai wujud ketaatan terhadap perintah ayahnya. Ketika
beliau kembali, Nabi Ibrahim telah meletakkan Hajar Aswad di tempatnya.
"Siapakah yang mendatangkannya (batu) padamu wahai ayahku?" Nabi
Ibrahim berkata: "Jibril as yang mendatangkannya." Selesailah
pembangunan Ka'bah dan orang- orang yang mengesakan Allah SWT serta orang-orang
Muslim mulai bertawaf di sekitarnya. Nabi Ibrahim berdiri dalam keadaan berdoa
kepada Tuhannya sama dengan doa yang dibacanya sebelumnya, yaitu agar Allah SWT
menjadikan had manusia cenderung pada tempat itu:
"Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka.
"(QS. Ibrahim: 37)
Karena pengaruh doa tersebut, kaum Muslim merasakan kecintaan yang dalam
untuk mengunjungi Baitul Haram. Setiap orang yang mengunjungi Masjidil Haram dan
kembali ke negerinya ia akan merasakan kerinduan pada tempat itu. Semakin jauh
ia, semakin meningkat kerinduannya padanya. Kemudian, datanglah musim haji pada
setiap tahun, maka hati yang penuh dengan cinta pada Baitullah akan segera
melihatnya dan rasa hausnya terhadap sumur zamzam akan segera terpuaskan. Dan
yang lebih penting dari semua itu adalah cinta yang dalam terhadap Tuhan,
Baitullah dan sumur zamzam yaitu, Tuhan alam semesta. Allah SWT berfirman
berkenaan dengan orang-orang yang mendebat Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail:
"Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, akan
tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan
sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik. " (QS. Ali
'Imran: 67)
Allah SWT mengabulkan doa Nabi Ibrahim dan beliau yang pertama kali
menamakan kita sebagai orang-orang Muslim. Allah SWT berfirman:
"Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia telah menamai kamu
sekalian orang-orang Muslim dan dahulu. " (QS. al-Hajj: 78
No comments:
Post a Comment